Masuk ke dalam, rasanya seperti acara Hollywood. Well, saya belum pernah ke Hollywood sih, tapi di pintu masuk Epicentrum XXI saat itu digelar karpet merah. Puluhan juru foto berdiri di sekitarnya, menunggu pesohor yang bisa dibidik. Di sebelah kanan, para pemain gamelan Bali mengalunkan musik tradisional, dan sejumlah penari Bali bersiap-siap tampil. Di kiri ada beberapa meja berisi makanan, minuman, dan wine, yang bisa dicicipi oleh para pengunjung.Wah. Mau nonton di bioskop aja kok acaranya heboh banget?
Tak lama setelah pikiran itu terlontar di otak saya, mulailah satu persatu sosok "penting" berjalan melewati karpet merah. Bukan, bukan selebriti. Memang terlihat ada beberapa aktor dan aktris seperti Chelsea Olivia, Ririn Dwi Ariyanti, dan Hadi Subiyanto (salah satu pemeran Eat Pray Love). Tapi yang saya maksud di sini adalah "selebriti" jenis lain. Lebih tepatnya pejabat negara.
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik adalah salah satu yang terlebih dulu menarik perhatian para juru foto. Disusul kemudian oleh Menteri Kesehatan Endang Rahayu, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, dan istri wakil presiden Ny. Herawati Boediono.
Mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah, film asing yang diproduksi oleh Amerika Serikat mendapat perlakuan begitu istimewa di negeri ini. Bahkan sepertinya, film lokal pun tak ada yang mendapat sambutan semeriah ini. Berlebihan? Bisa jadi. Tapi jujur aja, saya sebetulnya tidak keberatan.
Film yang diangkat dari buku (yang ditulis berdasarkan kisah nyata seorang penulis bernama Elizabeth Gilbert) ini menitikberatkan ceritanya pada lokasi. Italia, India, dan Indonesia. Bukan sekadar setting film, tapi memang memiliki makna khusus, seperti yang tertulis di judul: EAT (makan, di Italia yang terkenal dengan kekayaan kulinernya) PRAY(berdoa, mengasah jiwa spiritual dengan meditasi dan yoga di India) LOVE (mencari cinta, di tempat yang indah dan penuh cinta yaitu Bali, Indonesia).
Wajar kalau dari jauh-jauh hari saat film ini masih dalam proses syuting, penduduk Indonesia sudah antusias ini segera menonton Eat Pray Love demi melihat Bali. Warga Italia dan India mungkin tak seheboh ini menanggapi Eat Pray Love karena toh sudah ada puluhan film Hollywood yang menggambarkan kedua negara tersebut. Tapi Indonesia? Jarang. Kalaupun ada, porsinya tak terlalu banyak. Sedangkan di film ini, nyaris separuh film disyut di Bali.
Lalu apakah penggambaran Indonesia di film ini sesuai dengan yang diharapkan? Well,sebetulnya yang diekspos di Eat Pray Love hanya Bali, bukan Indonesia. Karakteristik budaya dan adatnya pun sama sekali tak disentuh. 'Identitas' Bali di film ini hanya bisa kita lihat di pemandangan alam Bali yang cantik (pantai, pegunungan, sawah), bangunan dan gapura khas Bali beserta ornamennya (kain khas Bali, sesajen, umbul-umbul, janur, perempuan berbaju tradisional), dan wajah-wajah Melayu yang familiar (salah satunya Christine Hakim).
Bahasa Indonesia pun hampir tak pernah terdengar diucapkan di film ini, kecuali tentu saja 'terima kasih'.
Saya tak akan membahas resensi dan jalan cerita film ini, terlebih mungkin Anda sudah membaca bukunya. Namun saya yakin, meskipun film ini mendapat review yang kurang bagus, penonton Indonesia akan tetap membeli karcis bioskop demi melihat 'Indonesia produksi Hollywood' ini. Dan saya juga yakin, jalan cerita menjadi tak lagi penting saat Anda sudah duduk di kursi studio dan film dibuka dengan gambar pemandangan sawah Ubud, diiringi musik khas gamelan Bali. Yang ada hanya rasa bangga, dan sedikit haru. Setidaknya itu yang saya rasakan.
Penasaran? Silakan tonton sendiri. Eat Pray Love diputar di bioskop Indonesia mulai Rabu, 13 Oktober 2010.
No comments:
Post a Comment